Kota Wini di Pulau Timor, NTT adalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Jika berada di sana, berarti langkah kaki Anda tinggal sedikit lagi menuju luar negeri. Yuk, tengok Kota Wini dari dekat!
Mungkin Anda sudah bosan mendengar atau menjelajah Bali, Raja Ampat, Lombok atau destinasi timur lainnya? Cobalah menjelajah Pulau Timor di NTT.
Pulau Timor selama ini mungkin hanya dikenal karena ada sebuah negeri yang belum lama berpisah dari bumi pertiwi. Selain itu, mungkin yang ada di benak kita adalah sebuah pulau yang gersang, sulit air, dan penuh dengan savana.
Tak heran jika tempat ini tidak terlalu menarik untuk dijadikan destinasi wisata atau petualangan. Anggapan itu memang tidak sepenuhnya salah, bila kita sudah menjejakkan kaki di sana.
Itulah yang saya alami ketika pertama kali mendarat di bumi Timor. Dari atas pesawat menjelang tiba di Bandara El Tari Kupang, warna hijau mendominasi daratan Timor. Tampak Waduk Tilong penuh dengan air di musim penghujan ini untuk menghidupi warga Kupang yang memang sulit air.
Sepanjang perjalanan menyusuri Jalan Trans Timor dari Kupang ke So'e, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kondisi jalan relatif sepi dan di kiri kanan tanaman jagung tampak mendominasi. Jagung adalah makanan pokok masyarakat Timor. Kabupaten ini memang telah mendeklarasikan sebagai lumbung jagung NTT.
Pemandangan indah mulai terasa setelah melewati perbatasan Kabupaten Kupang dengan kabupaten ini. Jalanan mulai menanjak dan berliku, diiringi oleh pemandangan hijau yang dibelah oleh Sungai Noelmina.
Setelah menempuh waktu 2 jam perjalanan, saya tiba di So'e, kota yang mirip Lembang karena letaknya di pegunungan. Hawa dingin pun mulai terasa menusuk tulang. Kota ini dikenal sebagai salah satu tempat melepas penat di akhir minggu terutama bagi warga Kupang.
Karena hari telah siang, saya menyempatkan dulu untuk makan di RM Lamongan. Setelah makan, perjalanan dilanjutkan menuju Kota Kefamenanu, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Utara. Kondisi jalan relatif mulus dari Kupang hingga ke Kefamenanu.
Mata menjadi segar sepanjang perjalanan karena sayang melewatkan pemandangan alam di kiri kanan jalan. Dalam waktu 1,5 jam saya tiba di Kefamenanu dan langsung menuju Hotel Ariesta yang terletak di dalam kota dekat kantor Bupati.
Kota ini relatif lebih sepi kondisinya dari Kota So'e, apalagi Kupang. Kefa bisa disebut juga sebagai Kota Tidur. Tidak ada aktivitas warga di malam hari, kecuali hanya mencari makan malam saja. Hal ini berbeda dengan wilayah barat Indonesia, dimana warganya senang jalan-jalan sambil ngopi di malam hari.
Esoknya, saya bergerak lagi menuju Wini, kota perbatasan dengan Timor Leste di Distrik Oecussi. Sebuah wilayah yang terpisah dari induknya. Berhubung ada jembatan putus, saya terpaksa berputar melalui kota Atambua, ibukota Kabupaten Belu.
Saya menempuh waktu selama 1,5 jam untuk tiba di kota tersebut. Berbeda dengan dua kota sebelumnya, Atambua relatif ramai karena merupakan kota terakhir sebelum perbatasan dengan Timor Leste. Di sini bahan bakar agak sulit diperoleh, karena bersaing dengan jeriken yang ditengarai banyak diselundupkan ke negeri tetangga yang harga 2x lipat dari negeri kita.
Perjalanan dilanjutkan menuju Atapupu sebuah Kota Terpadu Mandiri yang dibangun oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sayangnya, konsep kota terpadu mandiri yang dicanangkan tidak sesuai dengan kenyataan. Yang tertinggal hanyalah monumen kota terpadu.
Sementara, kondisinya jauh dari layak untuk dikatakan sebuah kota. Pasar yang dibangun sangat sepi. Ilalang tumbuh di mana-mana menutupi bangunan yang hampir rusak tak terawat. Namun, setelah melewati Ponu, perjalanan menjadi lebih mengasyikkan, karena kita menyusuri pantai yang langsung berhadapan dengan bukit.
Perbukitan di Timor agak berbeda dengan daerah lain, karena terbentuk dari karang yang menonjol akibat turunnya permukaan laut. Pulau Timor sendiri boleh dikatakan merupakan atol terbesar, karena terbentuk dari karang yang ditutupi oleh tanah.
2 Jam perjalanan menjadi tak terasa, melihat indahnya pemandangan bukit yang dipadu dengan pantai. Beberapa kali saya berpapasan dengan kendaraan berplat Timor Leste yang hendak menuju ke wilayah induknya dari Oecussi. Kendaraan mereka bagus-bagus dan rata-rata mobil sport atau mobil gunung.
Menurut cerita penduduk setempat, sebagian penduduk Timor Leste memang kaya. Selain itu harga mobil mewah tersebut jauh lebih murah dibanding negeri sendiri.
Akhirnya tiba juga di Wini, kota pantai yang berbatasan langsung dengan Distrik Oecussi. Mumpung di perbatasan, saya menyempatkan diri untuk berfoto ria di depan gerbang perbatasan.
Namun kondisi pintu perbatasan sangat jauh berbeda. Bangunan check point Timor Leste terlihat baru dan terkesan mewah, sementara di Indonesia terlihat ala kadarnya dan kurang tertata rapi. Barisan prajurit mengawasi ketat wilayah perbatasan tersebut. Mereka dirotasi 6 bulan sekali untuk mengawal wilayah itu.
Saat perjalanan pulang, saya melihat kondisi perbatasan kita lebih baik dan lebih terawat, walaupun banyak jalan dan tempat parkir di check point rusak berat.
Untuk sekadar menyeberang masuk ke wilayah Timor Leste, tidak wajib menggunakan paspor. Tetapi, harus dikawal oleh tentara perbatasan kita. Setelah bernegosiasi dengan tentara, mereka akhirnya bersedia mengantar kita hingga ke Batugade sebuah kota terdekat yang boleh dikunjungi tanpa paspor.
Masuk ke wilayah Timor Leste tidak sesulit yang dibayangkan. Pengawal kita rupanya sudah dekat dengan penjaga perbatasan mereka. Sehingga, dengan lancar kita menembus batas menuju Kota Batugade. Ternyata kondisi perdesaan di Timor Leste tidak jauh berbeda dengan tetangganya.
Masih tampak pedagang bensin eceran, ojek yang bahkan motornya sebagian masih berplat nomor Indonesia. Ada Warung-warung kecil serta masyarakat pedesaan seperti yang ada di negeri kita. Bahkan barang-barang yang dijajakan sebagian besar merupakan produk negeri kita.
3 Hari saya berkeliling Kabupaten Timor Tengah Utara, waktunya kembali ke Kupang melalui Timor Tengah Selatan. Jalan yang ditempuh agak berbeda, melalui wilayah Eban yang terletak di kaki Gunung Mutis. Gunung tertinggi di wilayah Timor bagian barat.
Di wilayah inilah tanah tanpa karang baru benar-benar terlihat. Di Pulau Timor, hanya wilayah Gunung Mutis dan sekitarnya yang dasarnya merupakan tanah murni.
Selebihnya adalah karang yang tertutup tanah. Di sinilah sebenar-benarnya pemandangan indah yang tidak ada duanya di tempat lain. Selain indah, juga masih perawan alias belum dijamah oleh tangan-tangan jahil yang membangun vila dan merusak pemandangan alam.
Perjalanan hampir 1 minggu terlalui sudah dengan kesegaran jiwa dan raga. Walaupun lelah, tapi nikmatnya tiada tara. Jika Anda bosan dengan pulau itu-itu saja, cobalah datang ke sini.
0 komentar:
Posting Komentar